Selasa, 22 Februari 2011

Surat untukku

Akhir-akhir ini sering sekali muncul tulisan di blog yang mengatasnamakan surat dari anak yang ibu/ayahnya bermasalah. Tujuan semuanya sama, mencari pembenaran, pembelaan ataupun simpati yang mungkin, mungkin saja meringankan beban orang tua sedikit.

Dan kali ini giliran saya.

Setiap anak bangga akan orang tuanya masing-masing, begitu pun saya. Karena kita tidak pernah diberi kesempatan untuk memilih akan lahir oleh siapa kita. Saya bangga mempunyai ayah dokter, saya tau betapa berat perjuangannya dari kecil. Jarang ikut acara keluarga ataupun liburan, padahal ia butuh. Telepon tidak pernah berhenti berdering siang dan malam. Bukan hanya mengorbankan dirinya sendiri untuk sebuah profesi ini, tapi kami mungkin anak-anaknya. Kalau ada orang bilang, enak ya jd dokter, banyak duitnya. Dalam hati saya selalu miris, banyak yg harus dikorbakan untuk menjadi dokter. Kalo emang mau kaya, ya jadi pengusaha.

23 tahun bukan waktu yang sebentar bagi seorang dokter ahli kandungan dan kebidanan untuk mengabdi di kota yang lumayan kecil. Bahkan banyak anak yang ditolongnya dulu, kini melahirkan anaknya lagi ditolong papa. Ia tak pernah mengeluh sedikitpun dengan kelelahannya. Walau sudah 62 tahun, papa masih kuat untuk menolong pasien. Berbagai keberhasilan pun banyak diraih, menolong bayi kembar 3, bayi 6 kg, tumor 28kg, yah, ga bisa disebutkan karena 23 tahun memang waktu yang tak sebentar. Kini di umur 62 tahun sebenarnya ia bisa menikmati hari tuanya dengan hanya melihat cucu, jalan2 atau mengerjakan hobinya. Karena usaha sampingan yang sama sekali tidak berhubungan dengan medis yang dijalankan mama lebih banyak mengcover kehidupan kami sehari-hari, tapi papa tetap tak mau meninggalkan profesi medis yang terlanjur sangat ia cintai.

sampai suatu ketika saya membaca berita ini dari metro tv news

Metrotvnews.com, Asahan: Diduga menjadi korban malapraktik seorang dokter di Asahan, Sumatra Utara, ibu dua anak kritis usai menjalani operasi. Reni, ibu dua anak, terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Adam Malik Medan, setelah sepekan operasi kondisinya kritis dan belum juga sadar. Reni diduga menjadi korban malpraktik dokter Sa'ad yang merupakan dokter spesialis kebidanan, pekan lalu.

Korban mengalami kritis setelah operasi kista dirahimnya hasil diagnosa sang dokter di Klinik Utama Kisaran, Sumatra Utara. Ironisnya setelah dirujuk ke RSU Abdul Manan Kisaran, korban malah didiagnosa mengalami gagal ginjal, hingga harus dirujuk kembali ke RS Adam Malik Medan untuk penangangan intensif. Kondisi korban dikabarkan semakin memburuk. Pihak keluarga korban berencana melaporkan dokter malapraktik ini ke pihak Kepolisian Resor Asahan.

Menurut ibu korban Nursiah, putrinya mengalami kejang-kejang dan bibir merot serta tidak buang kecil pasca operasi kista sang dokter. Korban juga belum sadarkan diri.

Sementara, saat ditemui di klinik utama tempat sang dokter berpraktek, dokter yang usianya sudah cukup tua ini langsung menghindar dan melarikan diri dengan mobilnya, meninggalkan sejumlah pasien yang menunggu giliran.(Jamiin Damanik/RIZ)


Yah cukup sudah cerita papa saya, karena akhirnya toh jatuh pada penilaian yang sangat objektif. Sekarang kita membahas berita yang minimpa papa saya, eh sebut saja dokter ini, agar memandangnya lebih objektif. Seorang dokter dikatakan malpraktik jika melakukan prosedur yang salah terhadap pasien. Pada pasien, komplikasi pun bisa terjadi kapan saja, bahkan di praktek umum sekali pun, ada pasien yang alergi terhadap obat tertentu sampai ia menderita pengelupas kulit yang sangat parah, alergi itu tak pernah dikterahui sebelumnya oleh dokter manapun baik si pasien sendiri. Tapi jika dokter itu telah melakukan prosedur yang benar , maka ia bebas dari tuntutan.

Sebelum operasi pasien harus mengetahui bagaimana kondisinya dahulu. Dalam kasus ini, pasien mempunyai penyakit ginjal bawaan dan beberapa sindrom lainnya yang dibawa sejak lahir. Jika pasien sudah mengerti komplikasi operasi dan menyetujui , menandatangani sendiri persetujuan operasi. Maka prosedur sudah sebagaimana mestinya. Pasien pun harus lebih pintar, bukan pintar-pintar mencari kesalahan dokter.

Yah unuk mendukung pernyataan ini seharusnya memang saya mencantumkan data, tapi ini hanya medengar cerita dari mama saya yang cukup tenang menghadapi smua ini. Papa juga sangat tenang, karena telah melakukan hal yang benar. Keluarga Pasien ini pun sebenarnya tidak masalah dengan ini, karena luka operasi sembuh dan tak ada masalah.

Yang saya sesali kenapa media paling senang memberitakan hal-hal yang menakut-nakuti masyarakat. Membesar-besarkan masalah. Bener kata @pandji buat apa kita ngeluarin uang langganan koran untuk berita krimanal smua, korupsi, selingkuh, perceraian, pembunuhan, pemerkosaan. Media seperti ingin mengadu domba bangsanya sendiri.

Mengapa media jarang menampilkan liputan prestasi anak negri. Banyak dokter yang harus meregang nyawa karena tenggelam, komplikasi malaria karena bekerja di daerah terpencil yang endemis malaria. Tak pernah diberitakan sedikitpun berita yang menginspirasi. Semua berita hanya mengaduk emosi pembaca dengan mencari-cari kesalahan.

Dan kadang saya sayangkan, memang tidak semua, wartawan banyak yang memeras, tentu pejabat paling banyak merasakan hal ini, tetapi keluarga saya juga pernah.

Percaya hukum di Indonesia ini pun seperti mempercayai suami yang sudah pernah selingkuh ribuan kali. Sulit rasanya. Tapi inilah Indonesia. Bangsa yang kucinta.

1 komentar:

puput mengatakan...

anda bsa bilang sperti itu krna anbda ank seorang dokter. tpi jika posisi anda berada di posisi pasien dan keluarganya, apa anda masih bisa bicara seperti ini ??????????